Product walkthrough, trial, POCs, enterprise offering, support and more. Speak with one of our specialists.
Climate changes
Lahan gambut adalah jenis ekosistem basah yang terbentuk dari tumpukan bahan organik, seperti sisa-sisa tumbuhan dan pohon, yang terdekomposisi sangat lambat karena kondisi tanah yang jenuh air. Proses pembentukan gambut ini berlangsung selama ribuan tahun dan menghasilkan tanah berwarna gelap yang sangat kaya karbon. Di Indonesia, lahan gambut tersebar luas terutama di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Luasnya diperkirakan mencapai lebih dari 13 juta hektar[Ref].
Keunikan gambut terletak pada fungsinya sebagai penyimpan karbon alami. Meskipun hanya mencakup sekitar 3% dari daratan dunia, lahan gambut menyimpan lebih dari 30% karbon tanah global[Ref]. Artinya, lahan ini berperan penting dalam menjaga keseimbangan iklim bumi.
Indonesia menjadi salah satu negara dengan cadangan karbon gambut terbesar di dunia. Lahan gambut tropis di negeri ini menyimpan lebih dari 57 gigaton karbon, menjadikannya sebagai carbon sink yang vital dalam upaya global menahan laju perubahan iklim[Ref].
Saat lahan gambut berada dalam kondisi alami dan tetap basah, karbon di dalamnya akan tetap tersimpan dengan stabil selama ribuan tahun. Namun, jika lahan ini dikeringkan atau dibakar, maka karbon tersebut akan terlepas ke atmosfer dalam bentuk gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4). Emisi ini berkontribusi besar terhadap pemanasan global.
Lahan gambut juga berperan dalam mengatur siklus air, menyimpan cadangan air saat musim hujan dan melepaskannya secara perlahan di musim kemarau. Dengan demikian, gambut turut mencegah banjir dan kekeringan ekstrem.
Meski menyimpan potensi besar untuk mitigasi perubahan iklim, lahan gambut juga menyimpan risiko besar jika tidak dikelola secara hati-hati. Salah satu risiko utama adalah kebakaran lahan gambut. Tanah gambut yang kering sangat mudah terbakar dan sulit dipadamkan karena api dapat menyala jauh di bawah permukaan tanah.
Setiap tahun, Indonesia kerap mengalami bencana asap akibat kebakaran gambut, terutama di musim kemarau[Ref]. Kebakaran ini tidak hanya melepaskan jutaan ton CO2 ke atmosfer, tetapi juga menyebabkan gangguan kesehatan, kerugian ekonomi, serta menurunkan kualitas hidup masyarakat di sekitarnya.
Selain itu, konversi lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit atau hutan tanaman industri juga merupakan ancaman serius. Proses ini biasanya dimulai dengan pengeringan lahan melalui kanal-kanal drainase. Pengeringan ini merusak struktur alami gambut dan meningkatkan risiko kebakaran serta pelepasan karbon secara besar-besaran.
Kerusakan lahan gambut di Indonesia terjadi akibat berbagai tekanan, baik dari aktivitas berskala besar maupun skala kecil. Salah satu penyebab utamanya adalah alih fungsi lahan untuk keperluan budidaya dan industri. Proses pembukaan lahan seringkali dilakukan dengan cara yang tidak ramah lingkungan, termasuk pengeringan dan pembakaran lahan, meskipun praktik ini sebenarnya telah dilarang[Ref].
Faktor lain yang turut memperburuk kondisi gambut adalah kurangnya sinergi dalam pengelolaan tata ruang dan pemanfaatan lahan. Di beberapa wilayah, praktik pemanfaatan lahan terkadang dilakukan di area gambut dalam yang secara ekosistem sangat sensitif dan seharusnya dijaga kelestariannya. Dalam beberapa kasus, keputusan pemanfaatan tidak selalu didasarkan pada data ekologi terkini, sehingga berpotensi menimbulkan dampak lingkungan yang signifikan.
Kurangnya pelibatan masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan juga dapat menghambat efektivitas konservasi dan menyebabkan kesenjangan antara kebijakan dan implementasi di lapangan.
Selain itu, pemahaman tentang fungsi ekologis gambut di tingkat tapak masih terbatas. Di sejumlah wilayah, pembukaan lahan untuk pertanian skala kecil terkadang dilakukan dengan cara membakar lahan karena dianggap lebih mudah dan murah. Namun, praktik ini sangat berisiko tinggi, berkontribusi terhadap kerusakan ekosistem, dan melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar.
Melihat dampak kerusakan gambut yang begitu luas, pemerintah Indonesia membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) pada tahun 2016. Tugas utama BRG adalah memulihkan fungsi hidrologi lahan gambut yang rusak, terutama melalui tiga pendekatan utama: pembasahan kembali (rewetting), penanaman kembali vegetasi asli (revegetasi), dan revitalisasi ekonomi masyarakat sekitar[Ref].
Rewetting dilakukan dengan membangun sekat kanal untuk menaikkan kembali permukaan air tanah di lahan gambut. Dengan demikian, lahan tidak mudah terbakar dan karbon tetap tersimpan. Reforestasi atau revegetasi dilakukan dengan menanam kembali pohon-pohon khas gambut seperti jelutung, ramin, dan tumih. Sementara itu, revitalisasi ekonomi berfokus pada pemberdayaan masyarakat dengan menyediakan alternatif mata pencaharian yang ramah lingkungan, seperti budidaya ikan air tawar, madu hutan, atau kerajinan tangan.
Selain BRG, berbagai LSM, akademisi, dan organisasi internasional juga terlibat dalam upaya konservasi gambut. Proyek-proyek pemantauan berbasis satelit, edukasi masyarakat, dan kebijakan berbasis data turut memperkuat langkah-langkah perlindungan ini.
Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, masih banyak tantangan besar yang harus dihadapi dalam menjaga kelestarian gambut. Salah satu tantangan terbesar adalah konflik kepentingan antara konservasi dan ekspansi industri. Tekanan ekonomi untuk membuka lahan seringkali lebih kuat dibandingkan dorongan untuk menjaga lingkungan.
Tantangan lain adalah pembiayaan. Restorasi lahan gambut membutuhkan biaya besar, apalagi untuk wilayah yang telah mengalami kerusakan parah. Oleh karena itu, dibutuhkan keterlibatan sektor swasta dan dukungan internasional melalui skema pembiayaan iklim seperti REDD+ atau green bond.
Pemantauan dan penegakan hukum juga harus ditingkatkan. Penggunaan teknologi seperti satelit dan drone dapat membantu deteksi dini kebakaran dan pelanggaran penggunaan lahan. Di sisi lain, keterlibatan masyarakat lokal sangat penting. Tanpa dukungan dan partisipasi mereka, program konservasi tidak akan berjalan efektif.
Pemerintah juga perlu memastikan bahwa regulasi tentang perlindungan gambut (PP No. 71/2014 jo. PP No. 57/2016) ditegakkan secara konsisten, khususnya larangan membuka lahan di kawasan gambut dalam (lebih dari 3 meter). Koordinasi antar lembaga dan sinkronisasi data juga menjadi kunci keberhasilan.
Lahan gambut Indonesia adalah aset ekologi yang sangat berharga. Fungsinya sebagai penyimpan karbon dan pengatur air menjadikannya sebagai salah satu benteng pertahanan utama dalam menghadapi krisis iklim. Namun, jika tidak dijaga, gambut juga bisa menjadi sumber bencana ekologis, sosial, dan ekonomi yang besar.
Melalui perlindungan yang ketat, restorasi yang berkelanjutan, dan partisipasi masyarakat, lahan gambut dapat tetap memberikan manfaat jangka panjang bagi generasi sekarang dan mendatang. Menjaga gambut berarti menjaga masa depan iklim Indonesia dan dunia.
Jejakin’s green programs combine high-tech monitoring, biodiversity restoration, and community-led initiatives to deliver powerful, sustainable change across ecosystems.