Product walkthrough, trial, POCs, enterprise offering, support and more. Speak with one of our specialists.
Climate changes
Dalam perbincangan seputar perubahan iklim, kita sering mendengar solusi seperti energi terbarukan, efisiensi energi, atau kendaraan listrik. Namun, ada satu solusi yang jarang disorot namun memiliki potensi besar dalam menyerap karbon dioksida (CO2) dari atmosfer: karbon organik tanah, atau yang dikenal sebagai Soil Organic Carbon (SOC).
SOC adalah bagian dari soil organic matter (SOM) atau bahan organik tanah yang berasal dari sisa-sisa tanaman, akar, dan organisme tanah yang telah membusuk. Karbon ini tersimpan di dalam tanah dan dapat bertahan dari beberapa tahun hingga ribuan tahun, tergantung pada kondisi lingkungan dan cara pengelolaan lahannya. Tanah yang kaya akan bahan organik biasanya lebih subur, menyimpan lebih banyak air, dan mendukung produktivitas tanaman yang tinggi.
Karbon yang disimpan dalam tanah tidak hanya bermanfaat bagi kesuburan tanah, tetapi juga dapat membantu mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Melalui proses yang dikenal sebagai penyerapan karbon (carbon sequestration), tanaman menyerap CO2 dari atmosfer melalui fotosintesis. Saat tanaman mati dan terurai, karbonnya bisa masuk ke dalam tanah sebagai bahan organik, menciptakan cadangan karbon yang relatif stabil. Jika proses ini berlangsung secara berkelanjutan, maka tanah dapat menjadi salah satu "penyerap karbon" alami terbesar yang membantu menahan laju perubahan iklim.
Namun, di sisi lain, pengelolaan lahan yang tidak berkelanjutan dapat membalikkan proses ini. Aktivitas seperti pembukaan hutan, pembakaran lahan, penggembalaan berlebih, dan penggunaan alat berat yang merusak struktur tanah dapat menyebabkan karbon organik dilepaskan kembali ke atmosfer dalam bentuk CO2. Hal ini menjadikan tanah dari yang semula sebagai penyimpan karbon menjadi penyumbang emisi. Maka dari itu, menjaga dan meningkatkan kandungan SOC menjadi sangat penting dalam strategi global menahan pemanasan bumi.
Dalam beberapa dekade terakhir, para ilmuwan dan pembuat kebijakan mulai menyadari potensi besar dari SOC. Salah satu inisiatif global yang mengangkat isu ini adalah program "4 per 1000" yang diluncurkan pada Konferensi Iklim Paris tahun 2015. Program ini mendorong negara-negara di dunia untuk meningkatkan cadangan karbon tanah sebesar 0.4% setiap tahun. Angka ini terdengar kecil, tapi menurut riset, peningkatan tersebut dapat cukup untuk menyeimbangkan seluruh emisi karbon tahunan manusia secara global.[Ref]
Lalu, bagaimana cara meningkatkan karbon organik di dalam tanah? Salah satu pendekatan yang sedang naik daun adalah pertanian regeneratif. Praktik ini menggabungkan teknik-teknik seperti:
Semua praktik ini bertujuan untuk mengurangi gangguan terhadap tanah dan meningkatkan biomassa yang bisa dikembalikan ke dalam tanah. Misalnya, dengan tidak membajak tanah, struktur tanah tetap terjaga dan mikroorganisme di dalamnya bisa hidup lebih baik. Tanaman penutup juga berperan penting karena mereka menjaga tanah tetap tertutup sepanjang tahun, mengurangi erosi dan meningkatkan jumlah bahan organik saat mereka terurai.
Petani dan masyarakat adat sebenarnya telah lama melakukan praktik-praktik seperti ini, meski seringkali tanpa label ilmiah atau istilah teknis. Pengakuan terhadap pengetahuan lokal ini penting karena keberhasilan peningkatan SOC sangat tergantung pada konteks lokal: jenis tanah, iklim, budaya bertani, hingga kebijakan pemerintah setempat.
Namun, peningkatan kadar SOC bukanlah hal yang mudah dicapai dalam waktu singkat. Ada banyak tantangan yang harus dihadapi. Pertama, proses penyerapan karbon oleh tanah berlangsung lambat. Perubahan nyata bisa memakan waktu bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, tergantung pada kondisi tanah dan intensitas intervensi[Ref]. Kedua, tidak semua jenis tanah memiliki kapasitas yang sama dalam menyerap karbon. Beberapa tanah tropis yang sudah sangat miskin bahan organik mungkin memerlukan waktu lebih lama untuk pulih dan menjadi efektif sebagai penyerap karbon[Ref].
Selain itu, dibutuhkan insentif ekonomi bagi petani agar mereka bersedia mengadopsi praktik-praktik regeneratif yang belum tentu langsung menguntungkan secara finansial. Perubahan cara bertani juga menuntut pelatihan, teknologi, dan akses ke pasar yang mendukung. Tanpa dukungan dari pemerintah dan lembaga keuangan, akan sulit bagi petani untuk meninggalkan praktik lama yang sudah mereka lakukan.
Di tengah berbagai tantangan tersebut, muncul juga inovasi yang menjanjikan. Salah satunya adalah pendekatan berbasis pasar seperti carbon farming. Dalam skema ini, petani yang berhasil meningkatkan SOC dapat menjual kredit karbon ke perusahaan atau pemerintah yang ingin mengimbangi (offset) emisi mereka. Namun, mekanisme ini masih dalam tahap awal dan belum tersedia secara luas, terutama di negara-negara berkembang. Selain itu, masih ada perdebatan tentang bagaimana mengukur dan memverifikasi peningkatan SOC secara akurat agar sistem ini adil dan transparan[Ref]
Meski begitu, potensi manfaat dari peningkatan SOC tidak terbatas hanya pada isu iklim. Tanah yang kaya akan karbon biasanya:
Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan SOC juga dapat membantu ketahanan pangan, mengurangi risiko banjir dan kekeringan, serta mendukung keanekaragaman hayati tanah. Jadi, memperbaiki kandungan karbon tanah sebenarnya merupakan investasi berkelanjutan yang menguntungkan dari berbagai sisi.
Sebagai masyarakat umum, kita juga dapat ikut berkontribusi. Salah satunya adalah dengan mendukung produk-produk dari pertanian berkelanjutan atau regeneratif. Kita sebagai konsumen dapat mulai lebih kritis dalam memilih makanan, memperhatikan jejak karbonnya, dan mendukung praktik-praktik yang ramah lingkungan. Di sisi lain, pemerintah dapat membuat kebijakan yang mendorong peningkatan SOC, misalnya lewat subsidi untuk pupuk organik, pelatihan bagi petani, atau insentif untuk konservasi lahan.
Indonesia sendiri memiliki peluang besar untuk memanfaatkan potensi ini. Dengan luas lahan pertanian dan hutan yang masih signifikan, kita bisa menjadikan tanah sebagai sekutu dalam menghadapi perubahan iklim. Namun, ini hanya bisa tercapai jika ada sinergi antara petani, peneliti, masyarakat sipil, dan pembuat kebijakan. Pendekatan yang menyeluruh dan berorientasi jangka panjang menjadi kunci.
Kesadaran akan pentingnya karbon organik tanah mungkin masih rendah, tetapi perannya sangat besar. Di saat dunia mencari solusi iklim yang cepat dan efisien, mungkin jawabannya ada di bawah kaki kita. Tanah bukan hanya sumber kehidupan, tapi juga bisa menjadi penyelamat bumi dari krisis iklim, jika kita mengelolanya dengan bijak.
Jejakin’s green programs combine high-tech monitoring, biodiversity restoration, and community-led initiatives to deliver powerful, sustainable change across ecosystems.